Sang Legenda Puisi

5ea824bfd2fc2

Hai Sobat Pio! Bagaimana nih kabarnya? Semoga selalu baik-baik saja ya! Di tengah pandemi ini, jangan lupa untuk tetap mematuhi protokol kesehatan dan menjaga pola makan. Di artikel kali ini, kita akan membahas tentang Sang Legenda Puisi. Siapa yang tak mengenal Sapardi Djoko Damono? Beliau seorang pujangga terkemuka yang lahir di Surakarta pada 20 Maret 1940, dan merupakan anak pertama dari pasangan Sadyoko dan Sapariah. Beliau menikah dengan Wardiningsih dan dikaruniai dua orang anak bernama Rasti Sunyandani dan Rizki Henriko.

Sosok sastrawan yang kerap disapa dengan SDD ini, dikenal melalui berbagai puisinya yang berisikan hal-hal sederhana namun sarat akan makna. Beberapa puisinya sangat populer baik di kalangan sastrawan maupun khalayak umum, dari yang muda hingga yang tua. Beliau aktif menulis sejumlah karya yang dikirimkan ke majalah-majalah sejak SMP, sekitar tahun 1955. Kesukaannya ini berkembang saat ia menempuh kuliah di jurusan Bahasa Inggris di UGM, Yogyakarta. Jurusan Humanities di University of Hawaii, Amerika Serikat menjadi tujuan selanjutnya. Setelah kembali ke Indonesia, beliau mengajar di Fakultas Sastra yang sekarang menjadi Fakultas Ilmu Budaya(FIB) di UI pada 1974. Pada tahun 1995 SSD dikukuhkan menjadi Guru Besar di FIB UI, dan menjabat sebagai Dekan di falkutas tersebut pada periode 1995-1999. Kemampuan menonjolnya adalah menulis puisi, namun beliau juga pernah menyutradarai dan bermain pentas drama, serta melukis.

Berkat puisi-puisinya, beliau juga mendapat berbagai penghargaan. Diantaranya, Penghargaan Anugerah Buku ASEAN (ASEAN Book Award) untuk bukunya yang berjudul “Hujan Bulan Juni” dan “Yang Fana Adalah Waktu”. Penghargaan itu diberikan kepada Sapardi pada April 2018 di Kuala Lumpur, Malaysia dalam acara Kuala Lumpur International Book Fair yang diselenggarakan oleh Putra World Trade Center. Serta Anugerah Puisi Putra dari Malaysia atas bukunya yang berjudul “Sihir Hujan dari Malaysia” pada 1983. Beliau juga merupakan Pakar Bidang Sastra yang memulai karya awalnya berjudul “Duka-Mu Abadi” ini juga pernah mendapat Anugerah Budaya (Cultural Award) dari Australia pada 1978.

Beliau tutup usia pada 19 Juli 2020 di Rumah Sakit Eka BSD, Tangerang Selatan. Setelah sempat dirawat karena penurunan fungsi organ tubuh dan beliau meninggal pada pukul 09.17. Itu tadi, profil singkat mengenai perjalanan hidup Alm. Eyang Sapardi. Semoga bermanfaat dan sampai jumpa lagi. (RED_LFH&AP)

 

Sumber:

https://id.m.wikipedia.org

https://www.idntimes.com

https://www.kompas.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *